Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Pertanian

Sabtu, 23 Oktober 2021

What would Nature wants us to do?

Photo by BBC News

Manusia merupakan satu-satunya makhluk hidup ciptaan Tuhan yang berakal budi. Alam dan manusia mempunyai hubungan saling membutuhkan dan ketergantungan. Saya ingat sebuah kutipan novel berjudul “Partikel” dari Dee Lestari yang berbunyi :

“Manusia berbagi 63% kesamaan gen dengan protozoa, 66% kesamaan gen dengan jagung, 75% dengan cacing. Dengan sesama kera-kera besar, perbedaan kita tidak lebih dari tiga persen. Kita berbagi 97% gen yang sama dengan orang utan. Namun, sisa tiga persen itu telah menjadikan manusia pemusnah spesiesnya. Manusia menjadi predator nomor satu di planet ini karena segelintir saja gen yang berbeda”.

Tidak ada hewan yang sekejam manusia. Manusia tidak sadar telah menjadi predator yang berbahaya bagi makhluk hidup yang lain.

Bumi sudah ada sebelum manusia datang. Manusia datang memulai masalah dengan membangun konstruksi, kemudian kita bertanggung jawab atas masalah yang kita buat. Bumi kita sedang sakit, alam mungkin sedang berusaha untuk memulihkan dirinya. Seiring berjalannya waktu, alam berubah. Kerusakan alam merupakan salah satu bukti ada yang salah pada cara pandang dan sikap manusia pada alam. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat manusia melakukan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.

Pertambahan jumlah penduduk diiringi bertambahnya usaha untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup. Manusia semakin banyak kepentingan dan menganggap dirinya sebagai pusat tatanan ekosistem. Nyatanya tidak begitu. Manusia seringkali beranggapan bahwa alam harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, tapi kurang memperhatikan dan peduli terhadap pengelolaannya.

Demi investasi, lingkungan dipertaruhkan. Keputusan industri tidak menegaskan mengenai perlindungan lingkungan. Masalah pengelolaan lingkungan tidak sesederhana itu. Pemerintah malah mengambil alih semuanya, disaat arsitek, pemerhati lingkungan, sosiolog dan pakar-pakar lainnya bekerjasama lebih memfokuskan pembangunan pada sistem berkelanjutan. Lebih miris lagi, apabila terjadi pelemahan fungsi komisi amdal pada setiap perizinan pembangunan proyek di tempat yang tidak tepat.

Sedih. Banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman juga perubahan wilayah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Tak jarang masyarakat adat dan desa dibuat tak berdaya apabila berhadapan dengan koorporasi dan pemerintah. Masyarakat di tanah kita sendiri yang dirugikan dengan kebijakan pemerintah.

Pada dasarnya memang susah untuk menyatukan pemikiran karena memiliki isi kepala yang berbeda-beda. Tapi bukankah kita akan lebih baik dan kuat jika bersama-sama pada pembangunan yang berkelanjutan. Oh ya lupa, beda kasus jika hanya mementingkan kepentingan dan kemakmuran diri sendiri. Mana untung banyak kalo tidak ada yang dikorbankan 🙂

Mengapa kita tidak bisa menghormati alam, bersikap baik terhadap mereka? Bukankah kita sering ditegur dengan berbagai bencana karena keseimbangan alam yang terganggu?

Climate change, global warming dan pandemic mungkin sebenarnya merupakan bahasa tanda dari alam atas responnya untuk membela diri. Alam sepertinya ingin memberitahu kita bagaimana kita telah menghancurkan planet ini. Kita dipaksa untuk melihat kehidupan yang telah kita bangun untuk diri kita sendiri. Bagaimana kita telah merusak keselarasan ekosistem yang ada.

Tidak sedikit pula yang hanya ingin menikmati alam yang indah tapi tidak peduli dan tidak mau melakukan pelestarian alam itu sendiri. Setidaknya berusaha meminimalkan kerusakan alam saja. Saya yakin setiap manusia yang bernyawa di dalam lubuk hatinya yang paling dalam pasti ada rasa simpati dan empati terhadap kerusakan lingkungan. Atau memang kita yang sudah tidak punya hati nurani melihat kerusakan yang ada.

Saya harap kita semua sadar akan pentingnya menjaga planet bukan hanya profit. Sadar bahwa yang numpang di bumi bukan hanya manusia tapi, ada hewan dan tumbuhan juga. Kita sudah banyak yang lupa karena ego.