Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Pertanian

Sabtu, 28 Juni 2025

ADA HATI YANG KUAT BERNAMA FARA

 



ADA HATI YANG KUAT BERNAMA FARA

Algoni Nur Aulia

 

Semangat pergerakan tidaklah tertaut oleh angka usia. Di dalam tubuh yang kecil, ada kekuatan yang tak terbatas untuk mengubah dunia. Terkadang, walaupun usia telah mengenal dewasa, jiwanya masih terikat dalam kesia-siaan.

Dalam setiap detik yang berdenyut, langkahnya menari-nari di atas karpet merah menuju usia ke-17. Dia---Fara---tatapannya selalu penuh kehangatan. Dibalik kain yang menjaga kerapian, terselip kebijaksanaan yang melambangkan kekuatan hatinya. Perjalanan menuju angka ini sangat tidak mudah. Hidup ini adalah perjalanan yang harus dilalui, kita diberi kebebasan untuk memilih jalan yang akan mengantar kita menuju impian. Jalan menuju impian memang tidak bisa dilalui dengan begitu mudahnya, pasti akan ada kerikil yang membuat kita ragu untuk tetap maju atau memilih mundur. Seandainya saja kerikil di jalan itu bisa terlihat, mungkin kakinya sudah dipenuhi darah. Namun keyakinan di dalam hati mengatakan bahwa di ujung perjalanan ini, pasti akan ada kebahagiaan yang tak ternilai. Meski kadang ragu menghampiri, apakah keputusan untuk melangkah ini tepat atau tidak. Dia sadar bahwa dalam perjalanan ini dia hanya merasakan sakit.

Jarak rumah ke sekolah sangatlah jauh, membuatnya harus bersiap lebih pagi agar tidak terlambat sampai sekolah. Barang dagangannya sudah disiapkan dari pagi, kini dia siap untuk berangkat ke sekolah. Setiap hari dia membawa barang yang begitu banyak ke sekolah. Memang sangat merepotkan, tapi mau bagaimana lagi. Dia berpikir, kapan terakhir kali dia ke sekolah hanya membawa barang layaknya dibawa anak sekolah pada umumnya. Sekarang dia?

Sesampainya di sekolah, dia bergegas mememarkirkan motor dan melangkah menuju kelas. Di kelas, banyak temannya yang sudah duduk manis untuk belajar. Dan parahnya ada juga yang tengah asik menggibah. Ia tak pernah menghiraukan, dia memilih untuk menaruh dagangannya dibawah meja dan menatanya, agar ketika istirahat bisa langsung dijual.

Jam pelajaran pertama sudah dimulai 10 menit yang lalu, guru menjelaskan materi yang membuat siswa siswi nya mengantuk. Masih pagi memang, tapi kalau setiap mapel ini bawaaannya mengantuk. Tidak jarang banyak teman temannya yang tertidur. Dia juga sama seperti mereka, mengantuk apalagi tempat duduknya berada di belakang. Tempat duduk paling belakang biasanya diisi anak-anak yang modelannya memang kurang semangat belajar. Kadang ngobrol sendiri, kadang makan saat jam pelajaran. Sebenarnya dia juga tidak menyukai duduk di barisan paling belakang, tapi dia merasa tidak enak dengan temannya di kelas. Sebab barang dagangannya yang terlalu banyak, dia takut membuat mereka merasa risih dan tidak nyaman. Maka dari itu dia memutuskan untuk duduk dibelakang saja.

“Fara, hari ini kamu bawa apa aja?” ujar temannya.

“Aku ada bawa tahu walik, tahu bakso, piscok sama cireng pangsit”

“Aku mau tahu bakso 2 far, tolong ambilin ya!”

Dengan terburu-buru Fara menyiapkan pesanan temannya, dan tak lama banyak teman-temannya yang menghampiri untuk membeli dagangan yang ia bawa. Alhamdulilah tidak membutuhkan waktu lama, dagangan tersebut habis terjual dan dia pun segera membereskan barang-barang yang berserakan di meja. Ya benar, Fara berjualan dikelas. Dan meja kelas menjadi tempat mangkal untuk menjajakan dagangan.

Bel pulang sekolah telah berbunyi 5 menit yang lalu, kelas pun sudah mulai sepi. Tinggal beberapa anak yang belum pulang. Setiap kali pulang sekolah Fara memang tidak langsung pulang, dia memilih untuk menghitung hasil penjualan siang tadi. Kelas sudah benar-benar kosong, tinggal dia senidiri. Dia pun bergegas pulang, karena selain kelas yang sudah sepi, pekerjaannya pun sudah selesai. Saat dia sampai di parkiran sekolah, ternyata masih banyak motor yang berjajar, artinya banyak anak anak yang masih berada di sekolah.

Setiap kali pulang sekolah, dia selalu menyempatkan untuk membeli bahan-bahan membuat jajanan yang akan dijual esok hari. Begitu seringnya dia mampir ke toko tersebut, sang ibu pemilik toko hafal dengan baik barang-barang yang akan dibelinya. 

Setibanya dirumah, dia dengan hati-hati meletakkan barang dagangannya ke dapur. Barang-barang bekas dagangan tersebut biasanya akan dibersihkan malam nanti sambil ia menyiapkan adonan baru. Setelah meletakkan barang-barang tersebut, dia melangkah menuju kamarnya untuk berganti pakaian dan solat ashar. Setelah mengerjakan solat, dia menyalakan motor dan pergi kerumah ayahnya. Ya kalian tidak salah dengar. Ayah ibunya telah bercerai dari dia masih kelas 9 SMP. Fara tinggal bersama ibu dan ayah sambung. Fara anak kedua dari empat bersaudara, dengan dua adiknya masih duduk dibangku sekolah dasar. Ayah kandungnya telah lama menderita penyakit stroke, dan tidak ada yang merawat. Memang sang ayah tinggal bersama neneknya, namun sang nenek telah lanjut usia dan retan terhadap kekambuhan penyakitnya.

Setiap pulang sekolah, dia selalu menyempatkan waktu untuk merawat ayahnya. Selain ayah tidak ada yang merawat, ini merupakan kewajibannya sebagai seorang anak. Dia membantu untuk membereskan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci baju dan tak jarang dia juga memasak untuk ayah dan neneknya. Hatinya terasa sakit saat melihat neneknya menjalankan tugas-tugas rumah. Meskipun lelah telah mengakar didalam tubuhnya, namun tidak ada keinginan didalam hatinya yang mengizinkan untuk membiarkan neneknya bekerja sangat keras.

Sehabis merawat sang ayah, dia memutuskan untuk pulang karena waktu telah menunjukkan pukul setengah enam sore artinya sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang. Jarak antara rumah ayah dan ibunya tidak terlalu jauh, inilah yang membuatnya bersyukur. Dia merasa lebih tenang dan tidak terlalu khawatir dengan keadaan ayahnya. Dia bisa bebas pergi menengok ayahnya. Melihat kondisi ayahnya yang tidak sekuat dulu memang memilukan hatinya. Dalam hatinya, hanya bisik kata maaf yang terus melantun, karena tidak ada kekuatan untuk mengungkapkan perasaan ini kepada ayahnya.

“Jangan pernah kau jatuhkan air matamu itu didepan ayahmu ini nak, ayah tak sangup melihatnya. Maafkan ayah tidak bisa membahagiakanmu” ujar ayahnya sambil mengelus kepala Fara.

***

“Bagaimana kamu bisa memutuskan melakukan hal ini?”

“Pernah, waktu itu pas mau kenaikan kelas 11, bapak kandungku kan masih dalam masa pemulihan di rumah, sedangkan mbakku udah nikah ikut suaminya, jadinya engga ada yang ngerawat bapak. Di sisi lain ibukku sama bapak sambungku lagi ga pegang uang sama sekali, Nah pas mau kenaikan kelas adekku sedang butuh buku. Aku udah mutusin buat tidak melanjutkan sekolah dan mau kerja buat bantu ibu buat biaya sekolah adek. Bapak yang sakit ini juga membutuhkan aku. Tidak ada yang merawat dan menjaga bapak selain aku. Disitu aku bingung sama semuanya, sudah ingin banget menyerah dan alhamdulillah aku bisa ngelewatin masa masa sulit itu.” Tuturnya dengan mata berkaca-kaca

Selama kelas 11 dia memutuskan untuk berjualan makanan. Inilah salah satu yang bisa dilakukan untuk membantu ekonomi keluarganya. Dia tahu ini tidak dapat menutup kebutuhan, tetapi setidaknya dia telah berusaha. Waktu begitu cepat berlalu, tidak terasa dia sudah kelas 12 saja. Dan kini semua siswa tengah asik menikmati waktu berlibur mereka. Bagaimana dengan Fara?

Fara sangat bersyukur mendapat pekerjaan sampingan, sebelum libur tiba dia selalu khawatir bagaimana dia bisa mendapatkan uang. Karena sumber penghasilan utama ada saat dirinya di sekolah. Beberapa hari setelah libur, sepupunya memberitahu bahwa ada lowongan kerja di rumah makan dekat desanya. Tanpa pikir panjang, dia pergi kerumah makan itu. Namun sebelum pergi sepupunya memberikan wejangan, bahwa ibu pemilik warung sangat galak sekali. Dia tidak memberikan toleransi apabila ada kesalahan.

Sesampainya disana, dia benar-benar menjaga lisannya. Dia harus terlihat baik agar bisa bekerja disini. Dia sangat bingung dan kaget, dimana letak galaknya pemilik warung ini. Saat Fara menemuinya, dia begitu ramah dengan para pembeli. Sudah seminggu dia bekerja dengan ibu ini. Dia begitu nyaman dan tidak merasa repot bekerja disini. Bahkan setiap pulang, ibu pemilik warung selalu membawakan lauk sisa jualannya. Jadi dia tidak perlu memasak untuk ayahnya dan menghemat uang belanja. Meskipun ibu pemilik warung non muslim, tapi dia tidak pernah membedakan karyawannya. Dia selalu mengingatkan jika waktu salat tiba dan menyuruhnya untuk meninggalkan pekerjaan.

Hidup adalah syair yang tak terputus, mengalun dengan nada keberanian dan kekuatan, membangun karakternya dengan penuh kebijaksanaan. Dalam setiap rintangan yang mungkin menantang langkahnya, dia menemukan pelajaran berharga dan kepercayaan yang bersinar dari dalam dirinya. Dia menyadari betapa perjalanan ini bukan hanya sekedar mudah atau sulit, tapi tentang bagaimana dia tumbuh dan merangkul keindahan dalam setiap momen yang melintas.

Ubahlah hidupmu hari ini, jangan bertaruh di masa depan nanti, bertindaklah sekarang tanpa ditunda tunda lagi.” ~ Simone De Beauvoir