ADA HATI YANG KUAT BERNAMA FARA
Algoni Nur Aulia
Semangat pergerakan tidaklah tertaut oleh angka usia. Di dalam tubuh yang kecil, ada kekuatan yang tak terbatas untuk mengubah dunia. Terkadang, walaupun usia telah mengenal dewasa, jiwanya masih terikat dalam kesia-siaan.
Dalam setiap detik yang berdenyut, langkahnya menari-nari di atas karpet merah menuju usia ke-17. Dia---Fara---tatapannya selalu penuh kehangatan. Dibalik kain yang menjaga kerapian, terselip kebijaksanaan yang melambangkan kekuatan hatinya. Perjalanan menuju angka ini sangat tidak mudah. Hidup ini adalah perjalanan yang harus dilalui, kita diberi kebebasan untuk memilih jalan yang akan mengantar kita menuju impian. Jalan menuju impian memang tidak bisa dilalui dengan begitu mudahnya, pasti akan ada kerikil yang membuat kita ragu untuk tetap maju atau memilih mundur. Seandainya saja kerikil di jalan itu bisa terlihat, mungkin kakinya sudah dipenuhi darah. Namun keyakinan di dalam hati mengatakan bahwa di ujung perjalanan ini, pasti akan ada kebahagiaan yang tak ternilai. Meski kadang ragu menghampiri, apakah keputusan untuk melangkah ini tepat atau tidak. Dia sadar bahwa dalam perjalanan ini dia hanya merasakan sakit.
Jarak
rumah ke sekolah sangatlah jauh, membuatnya harus bersiap lebih pagi agar tidak
terlambat sampai sekolah. Barang dagangannya sudah disiapkan dari pagi, kini dia
siap untuk berangkat ke sekolah. Setiap hari dia membawa barang yang begitu
banyak ke sekolah. Memang sangat merepotkan, tapi mau bagaimana lagi. Dia
berpikir, kapan terakhir kali dia ke sekolah hanya membawa barang layaknya
dibawa anak sekolah pada umumnya. Sekarang dia?
Sesampainya
di sekolah, dia bergegas mememarkirkan motor dan melangkah menuju kelas. Di
kelas, banyak temannya yang sudah duduk manis untuk belajar. Dan parahnya ada
juga yang tengah asik menggibah. Ia tak pernah menghiraukan, dia memilih untuk
menaruh dagangannya dibawah meja dan menatanya, agar ketika istirahat bisa
langsung dijual.
Jam
pelajaran pertama sudah dimulai 10 menit yang lalu, guru menjelaskan materi
yang membuat siswa siswi nya mengantuk. Masih pagi memang, tapi kalau setiap
mapel ini bawaaannya mengantuk. Tidak jarang banyak teman temannya yang
tertidur. Dia juga sama seperti mereka, mengantuk apalagi tempat duduknya
berada di belakang. Tempat duduk paling belakang biasanya diisi anak-anak yang
modelannya memang kurang semangat belajar. Kadang ngobrol sendiri, kadang makan
saat jam pelajaran. Sebenarnya dia juga tidak menyukai duduk di barisan paling
belakang, tapi dia merasa tidak enak dengan temannya di kelas. Sebab barang
dagangannya yang terlalu banyak, dia takut membuat mereka merasa risih dan
tidak nyaman. Maka dari itu dia memutuskan untuk duduk dibelakang saja.
“Fara,
hari ini kamu bawa apa aja?” ujar temannya.
“Aku
ada bawa tahu walik, tahu bakso, piscok sama cireng pangsit”
“Aku
mau tahu bakso 2 far, tolong ambilin ya!”
Dengan terburu-buru Fara menyiapkan pesanan temannya,
dan tak lama banyak teman-temannya yang menghampiri untuk membeli dagangan yang
ia bawa. Alhamdulilah tidak membutuhkan waktu lama, dagangan tersebut habis
terjual dan dia pun segera membereskan barang-barang yang berserakan di meja.
Ya benar, Fara berjualan dikelas. Dan meja kelas menjadi tempat mangkal untuk menjajakan
dagangan.
Bel pulang sekolah telah berbunyi 5 menit yang lalu,
kelas pun sudah mulai sepi. Tinggal beberapa anak yang belum pulang. Setiap kali
pulang sekolah Fara memang tidak langsung pulang, dia memilih untuk menghitung
hasil penjualan siang tadi. Kelas sudah benar-benar kosong, tinggal dia
senidiri. Dia pun bergegas pulang, karena selain kelas yang sudah sepi,
pekerjaannya pun sudah selesai. Saat dia sampai di parkiran sekolah, ternyata
masih banyak motor yang berjajar, artinya banyak anak anak yang masih berada di
sekolah.
Setiap kali pulang sekolah, dia selalu menyempatkan
untuk membeli bahan-bahan membuat jajanan yang akan dijual esok hari. Begitu
seringnya dia mampir ke toko tersebut, sang ibu pemilik toko hafal dengan baik
barang-barang yang akan dibelinya.
Setibanya dirumah, dia dengan hati-hati meletakkan
barang dagangannya ke dapur. Barang-barang bekas dagangan tersebut biasanya akan
dibersihkan malam nanti sambil ia menyiapkan adonan baru. Setelah meletakkan barang-barang
tersebut, dia melangkah menuju kamarnya untuk berganti pakaian dan solat ashar.
Setelah mengerjakan solat, dia menyalakan motor dan pergi kerumah ayahnya. Ya
kalian tidak salah dengar. Ayah ibunya telah bercerai dari dia masih kelas 9
SMP. Fara tinggal bersama ibu dan ayah sambung. Fara anak kedua dari empat bersaudara,
dengan dua adiknya masih duduk dibangku sekolah dasar. Ayah kandungnya telah
lama menderita penyakit stroke, dan tidak ada yang merawat. Memang sang ayah
tinggal bersama neneknya, namun sang nenek telah lanjut usia dan retan terhadap
kekambuhan penyakitnya.
Setiap pulang sekolah, dia selalu menyempatkan waktu
untuk merawat ayahnya. Selain ayah tidak ada yang merawat, ini merupakan
kewajibannya sebagai seorang anak. Dia membantu untuk membereskan rumah seperti
menyapu, mengepel, mencuci baju dan tak jarang dia juga memasak untuk ayah dan
neneknya. Hatinya terasa sakit saat melihat neneknya menjalankan tugas-tugas
rumah. Meskipun lelah telah mengakar didalam tubuhnya, namun tidak ada
keinginan didalam hatinya yang mengizinkan untuk membiarkan neneknya bekerja sangat
keras.
Sehabis merawat sang ayah, dia memutuskan untuk pulang
karena waktu telah menunjukkan pukul setengah enam sore artinya sebentar lagi
adzan maghrib akan berkumandang. Jarak antara rumah ayah dan ibunya tidak
terlalu jauh, inilah yang membuatnya bersyukur. Dia merasa lebih tenang dan tidak
terlalu khawatir dengan keadaan ayahnya. Dia bisa bebas pergi menengok ayahnya.
Melihat kondisi ayahnya yang tidak sekuat dulu memang memilukan hatinya. Dalam
hatinya, hanya bisik kata maaf yang terus melantun, karena tidak ada kekuatan
untuk mengungkapkan perasaan ini kepada ayahnya.
“Jangan pernah kau jatuhkan air matamu itu didepan
ayahmu ini nak, ayah tak sangup melihatnya. Maafkan ayah tidak bisa
membahagiakanmu” ujar ayahnya sambil mengelus kepala Fara.
***
“Bagaimana
kamu bisa memutuskan melakukan hal ini?”
“Pernah, waktu itu pas mau kenaikan kelas 11, bapak
kandungku kan masih dalam masa pemulihan di rumah, sedangkan mbakku udah nikah
ikut suaminya, jadinya engga ada yang ngerawat bapak. Di sisi lain ibukku sama
bapak sambungku lagi ga pegang uang sama sekali, Nah pas mau kenaikan kelas
adekku sedang butuh buku. Aku udah mutusin buat tidak melanjutkan sekolah dan mau
kerja buat bantu ibu buat biaya sekolah adek. Bapak yang sakit ini juga
membutuhkan aku. Tidak ada yang merawat dan menjaga bapak selain aku. Disitu
aku bingung sama semuanya, sudah ingin banget menyerah dan alhamdulillah aku
bisa ngelewatin masa masa sulit itu.” Tuturnya dengan mata berkaca-kaca
Selama kelas 11 dia memutuskan untuk berjualan makanan.
Inilah salah satu yang bisa dilakukan untuk membantu ekonomi keluarganya. Dia
tahu ini tidak dapat menutup kebutuhan, tetapi setidaknya dia telah berusaha.
Waktu begitu cepat berlalu, tidak terasa dia sudah kelas 12 saja. Dan kini
semua siswa tengah asik menikmati waktu berlibur mereka. Bagaimana dengan Fara?
Fara sangat bersyukur mendapat pekerjaan sampingan, sebelum
libur tiba dia selalu khawatir bagaimana dia bisa mendapatkan uang. Karena
sumber penghasilan utama ada saat dirinya di sekolah. Beberapa hari setelah
libur, sepupunya memberitahu bahwa ada lowongan kerja di rumah makan dekat desanya.
Tanpa pikir panjang, dia pergi kerumah makan itu. Namun sebelum pergi sepupunya
memberikan wejangan, bahwa ibu pemilik warung sangat galak sekali. Dia tidak
memberikan toleransi apabila ada kesalahan.
Sesampainya disana, dia benar-benar menjaga lisannya. Dia
harus terlihat baik agar bisa bekerja disini. Dia sangat bingung dan kaget,
dimana letak galaknya pemilik warung ini. Saat Fara menemuinya, dia begitu
ramah dengan para pembeli. Sudah seminggu dia bekerja dengan ibu ini. Dia
begitu nyaman dan tidak merasa repot bekerja disini. Bahkan setiap pulang, ibu
pemilik warung selalu membawakan lauk sisa jualannya. Jadi dia tidak perlu
memasak untuk ayahnya dan menghemat uang belanja. Meskipun ibu pemilik warung
non muslim, tapi dia tidak pernah membedakan karyawannya. Dia selalu mengingatkan
jika waktu salat tiba dan menyuruhnya untuk meninggalkan pekerjaan.
Hidup adalah syair yang tak terputus, mengalun dengan
nada keberanian dan kekuatan, membangun karakternya dengan penuh kebijaksanaan.
Dalam setiap rintangan yang mungkin menantang langkahnya, dia menemukan
pelajaran berharga dan kepercayaan yang bersinar dari dalam dirinya. Dia
menyadari betapa perjalanan ini bukan hanya sekedar mudah atau sulit, tapi
tentang bagaimana dia tumbuh dan merangkul keindahan dalam setiap momen yang
melintas.
“Ubahlah hidupmu hari ini, jangan bertaruh di masa
depan nanti, bertindaklah sekarang tanpa ditunda tunda lagi.” ~ Simone De
Beauvoir
0 Comments:
Posting Komentar