Paru-Paru Dunia Adalah Indonesia Untuk Kelestarian Hutan Di Era New Normal

 

Paru-Paru Dunia Adalah Indonesia

Untuk Kelestarian Hutan Di Era New Normal

Kondisi indonesia sebelum COVID-19 menjadi pandemic bisa dikategorikan sebagai negara yang tingkat polusi udaranya merupakan salah satu yang tertinggi didunia, terutama di kota-kota besar yang ada di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan banyaknya kendaran bermotor serta pabrik-pabrik yang beroperasi dan semakin hari semakin habis wilayah hutan yang diambil sumber dayanya. Polusi yang ditimbulkan tersebut akan berkumpul diudara dan akan mengakibatkan hujan asam, dimana hal tersebut berbahaya bagi kehidupan. Selain itu sebagian pabrik membuang limbah dengan sembarangan dimana limbah tersebut belum diolah dan masih mengandung zat yang berbahaya bagi ekosistem di alam (Febriani et al., 2018).

Setelah terjadinya pandemic COVID-19 yang memakan banyak korban serta menghambat perekonomian negara, Indonesia menerapkan kebijakan social distancing dan physical distancing serta lockdown untuk kegiatan yang menyebabkan berkumpulnya banyak orang, hal tersebut merupakan antisipasi dan pencegahan dari COVID-19 ini. Namun dibalik kerugian yang disebabkan oleh pandemic ini terdapat keuntungan yang belum terjadi sebelumnya yaitu menurunnya tingkat polusi udara serta kembalinya beberapa ekositem yang dulu rusak akibat kegiatan yang terjadi sebelum pandemic (Febriani et al., 2018).

 Saat ini kita sudah memasuki kondisi new normal dimana kegiatan-kegiatan sudah di berlakukan untuk masyarakat dengan beberpa syarat dan aturan. Kondisi new normal ini bukan berarti pendemic COVID-19 sudah tidak ada lagi, namun kita bisa dengan mudah mengantisipasi COVID-19 ini dengan mematuhi anjuran dari pemerintah. Pemerintah memberikan anjuran agar selalu menggunakan masker dan mencuci tangan dengan sabun setelah melakukan kegiatan agar kita tetap terhindar dari COVID-19.

Paru-Paru Dunia adalah Indonesia merupakan sebuah ide dan gagasan dalam menjaga lingkungan dan mengantisipasi penyakit menular yng disebabkan oleh hewan (zoonosis) dengan cara menjaga kelestarian hutan serta mempertahankan luas hutan yang semakin hari semakin menyempit. Menjaga kelestarian hutan disini berarti harus siap untuk memantau hutan serta bisa melakukan penghijauan di lokasi yang sudah dianggap membutuhkan reboisasi. Hal tersebut dilakukan dengan cara dipantau melalui satelit dan ditampilakan kedalam sebuah website yang bisa diakses oleh masyarakat dan selalu di update kemajuannya setiap minggunya, baik itu kondisi hutan ataupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam menjaga kelestarianya. Karena Indonesia merupakan salah satu pemasok oksigen terbesar di dunia dan kita seharunya bisa mempertahankan predikat tersebut demi keberlangsungan kehidupan manusia.

Kelestarian hutan merupakan aspek yang sangat penting karena keberadannya sangat berpengaruh terhadap seimbangnya kehidupan dibumi ini, selain sebagai tempat penghasil oksigen, hutan juga merupakan ekosistem bagi flora dan fauna yang juga merupakan salah satu keanekaragaman ynag perlu kita jaga kelestriannya. Hutan juga bisa mencegah adanya bencana alam seperti longsor dan banjir bahkan hutan juga merupakan sarana pencegahan penyakit menular yang disebabkan oleh hewan (zoonosis). Salah satu mediasi penularan penyakit dari hewan ini karena habitat asli hewan tersebut terganggu serta pemburuan hewan liar untuk dikonsumsi dagingnya.

Ide dan gagasan ini merupakan salah satu solusi jangka panjang untuk melestarikan hutan dan menjaga ekositem alami dari flora dan fauna yang ada di Indonesia, selain itu hutan akan tetap mampu menyediakan oksigen dan mampu mengurangi pencemaran udara, bisa mencegah dan mengantisipasi bencana alam serta penyakit menular yang disebabkan oleh hewan.

Referensi

Febriani, W. D., Saepuloh, U., Ayuningsih, E. D., Saputra, R. S., Purbatrapsila, A., Nangoy, M. J., Ransaleh, T. A., Wahyuni, I., Dako, S., Noviana, R., Iskandriati, D., Tumbelaka, L. I., & Pamungkas, J. (2018). Bat Coronavirus of Pteropus alecto from Gorontalo Province, Indonesia. The International Journal of Tropical Veterinary and Biomedical Research, 3(2):36–42. https://doi.org/10.21157/ijtvbr.v3i2.12359

 

 

 

1 Komentar