Sejak
umur lima tahun, Gaby sudah ditinggal ibunya merantau ke Malaysia untuk
bekerja. Sejak saat itulah, Gaby tinggal bersama ayah dan saudaranya. Pada saat
kelas II (SD), tepat umur sembilan tahun, ayahnya juga menyusul ibunya ke Malaysia.
Kini, ia hanya tinggal bersama kakaknya. Sudah banyak kenangan yang diciptakan
oleh Gaby dan ayahnya, maka tak heran jika Gaby selalu merindukannya. Setiap
malam takbiran, Gaby pasti menangis karena tidak bisa berlebaran dengan ayah
dan ibunya. Ketika kelas lima SD, Gaby sempat menelepon ayahnya, ia mengajak
ayah dan ibunya untuk pulang dan berlebaran bersamanya. Namun, hanya ibunya
yang bisa pulang, karena sang ayah tidak mempunyai ongkos. Itu pun tidak lama,
ibunya hanya pulang selama seminggu. Saat kelas VII SMP, Gaby meneleponnya lagi
untuk mengajaknya pulang ke Madura. Namun, ayahnya cuma memberinya janji-janji
saja. Sampai akhirnya, Gaby kelas VIII SMP. Menjelang kenaikan kelas, Gaby
kembali meminta ayahnya untuk pulang pada perpisahannya di kelas IX nanti, tapi
ayahnya menjawab.
“Biar
Mbak dulu, ya, yang datang ke perpisahan kamu, nanti kalo ayah pulang, siapa
yang akan membiayai sekolah kamu?”
Gaby
hanya mengiyakan perkataan ayahnya, dia harus bisa bersabar. Perpisahan pun telah
usai, kini Gaby akan memasuki bangku SMA. Ia memilih bersekolah di MAN Sumenep
dan memondok di sana. Sejak saat itulah, Gaby kurang berkomunikasi dengan orang
tuanya. Setelah dua bulan di pondok, Gaby mendengar kabar dari mbaknya bahwa
tetangga mereka ada yang meninggal di Malaysia. Gaby takut kejadian itu juga
akan terjadi kepada kedua orang tuanya. Di setiap shalatnya, Gaby selalu berdoa
agar kejadian tersebut tidak terjadi kepada mereka. Tepat pada saat malam Idul
Adha, Gaby masih berada di pondok dan baru akan pulang besok paginya. Gaby
sempat menangis, karena lebaran kali ini ia tidak bisa menelepon kedua orang
tuanya. Keesokan harinya, ketika sudah diperbolehkan pulang, Gaby sempat menangis
karena melihat teman-temannya dijemput orang tuanya, sedangkan ia hanya dijemput
oleh kakaknya. Setibanya di rumah, Gaby sempat melakukan video call dengan ayah
dan ibunya. Dia juga sempat meminta ayahnya untuk pulang lebaran Idul Fitri
tahun depan. Ayahnya menjawab. “Iya, Nak, sabar, ayah akan pulang jika sudah
waktunya.” Gaby hanya bisa bersabar lagi mendengar ucapan ayahnya.
Tepat
pada bulan puasa, Gaby sempat menelepon ayahnya. “Yah, lebaran tahun ini,
pokoknya ayah harus pulang,” ucapnya merajuk.
Ayahnya
menjawab. “Ayah pulangnya kalo kamu nanti kelas 3, ya?”
Gaby
menentang ucapan ayahnya dan berkata, “Enggak, Yah, nanti kalo Gaby kelas 3,
ayah pasti bilang kalo ayah pulang, siapa yang akan biayain kamu kuliah.”
Ayah
pun tertawa. Namun entah kenapa, Gaby bisa merasakan ada kesedihan yang
terselip di balik tawa itu.
Lalu
Ayah berkata, “Bener, Nak, in syaa Allah ayah pulang tahun depan.”
Siang
ini, mbaknya Gaby sedang menjenguknya ke pondok, Gaby pun menelepon ayahnya
melalui fitur video call. Pada saat itu, ayahnya sedang bekerja dan beliau
memperlihatkan tempat kerjanya pada Gaby. Gaby bisa melihat keringat di kepala
ayahnya. Gaby sempat mau menangis karena terharu pada perjuangan ayahnya, tapi Gaby
lebih memilih memendamnya. Ia takut ayahnya juga akan sedih saat melihatnya
menangis. Gaby juga memperlihatkan pondokan dan sekolahnya, ia sempat berkata,
“Itu pondok aku, Yah. Nanti kalo ayah pulang, ayah ke sini, ya, ngirim aku!” Ayahnya
hanya tersenyum.
Tepat
pada malam lebaran, Gaby sempat menangis karena hampir sepuluh tahun tidak
berlebaran bersama ayahnya. Keesokan harinya, tepat pada hari raya, Gaby
melakukan video call dengan mereka, lama sekali. Kebetulan saat itu, ayahnya pulang
ke rumah ibunya. Meskipun mereka sama-sama bekerja di Malaysia, mereka tidak
serumah karena tempat kerjanya berbeda. Ibunya bekerja di toko, sedangkan ayahnya
bekerja menjadi kuli bangunan. Gaby juga sempat meminta ayahnya untuk pulang
melalui chat WA.
Ayah
pulang dong yah, Gaby kangen
Ayah
Kalo ayah pulang, ayah mau dikasih makan apa di sana?
Nasi
jagung apa nasi putih?
Nak?
Kamu
ke mana sih kok gak aktif.
Ayok
balas mumpung ayah masih ada di sini.
Ayok
bicara sama ayah, mumpung ayah gak pulang.
Gaby
yang membaca balasan ayahnya, sempat bingung. Ia penasaran mengapa ayahnya
berkata seperti itu. Tepat pada tanggal 9 Juni 2019, jam tujuh ayahnya melakukan
voice note melalui WhatsApp.
Ayah
“Nak,
kakaknya sudah bangun apa belum? Kalo belum bangun, siram dengan air saja!”
“Iya
yah, kakak sudah bangun” balas Gaby.
Hari
ini, ayahnya akan kembali bekerja. Saat ini, dia sedang ada di perjalanan
pulang ke tempat kerjanya yang jauh dari tempat tinggal ibunya. Entah kenapa,
ayahnya belum juga membalas pesannya itu. Tepat pada pukul dua siang, saat Gaby
bangun tidur ia mendapat telepon dari ibunya. “Nak, ayahmu nelfon kamu enggak
tadi?” tanya ibunya. Gaby menjawab. “Enggak, Bu, Ayah gak nelepon. Chat aku aja
belum dibales dari tadi.”
Perasaaan
Gaby semakin gelisah, Gaby takut terjadi apa-apa dengan ayahnya. Saat tidur
siang tadi, Gaby juga sempat bermimpi menyembelih kambing. Gaby semakin merasa
tidak tenang, dia takut mimpinya itu adalah pertanda buruk. Dia pun memutuskan
untuk menceritakan mimpinya ini pada mbaknya. Mbaknya berkata, “In syaa Allah
enggak papa, kan, mimpi cuma bunga tidur. Udahlah, tenang aja.” Setelah itu, mbak
Gaby menyuruhnya untuk membeli kue. Ketika pulang, Gaby bertemu dengan
ponakannya. Dia memberitahu Gaby bahwa ayahnya telah meninggal. Gaby menggeleng
tegas, tidak, ia tidak percaya. Barang-barang yang tadi dibelinya langsung
dijatuhkan begitu saja. Dia segera berlari dengan kencang ke rumahnya, dan
langsung masuk ke dalam kamarnya. Gaby menelepon nomor telepon ayahnya, tapi bukan
ayahnya yang mengangkat, melainkan orang lain. Orang tersebut mengatakan bahwa
ayah Gaby sudah meninggal. Namun Gaby tetap tidak percaya, dia meminta orang tersebut
melakukan video call dengan dirinya, orang itu pun setuju. Setelah tersambung,
orang tersebut mengarahkan kameranya ke kasur ayahnya, dia bisa melihat dengan
jelas tubuh ayahnya yang sudah terbaring kaku di sana.
Dua
hari setelah menunggu kedatangan mayat ayahnya. Hari ini, tepat pada hari Selasa,
jenazahnya sudah sampai di rumah Gaby. Gaby langsung memeluknya dengan erat,
tapi hanya sebentar, itu pun tidak sampai lima menit, karena ayahnya harus
segera dikubur. Kain kafan telah menutupi seluruh tubuh ayahnya. Setelah
sebelas tahun tidak bertemu dengan ayahnya, kini mereka harus dipertemukan
dalam kondisi seperti ini. Rindu yang tersimpan selama ini hanya bisa diobati
dengan menatapnya selama lima belas menit. Tidak ada tawa, tidak ada pelukan,
dan tidak ada ciuman. Gaby menangis histeris saat melepaskan jenazah ayahnya
untuk dimasukkan ke liang lahat. Ternyata hal yang paling ditakutinya, kini
sudah terjadi dan semuanya hanya tinggal kenangan, kenangan, dan kenangan.
0 Comments:
Posting Komentar